Already Here~



Dulu ketika kamu lulus, aku masih harus berada dibawah atap sekolah yang sama dua tahun lamanya.

Tidak mudah.
Melupa disaat aku masih berada di tempat serat kenangan.

Setiap kali ke mushola sekolah, aku masih melihat kursi kayu itu. Kursi yang ada di depan kantin belakang sekolah, dimana kamu dan teman-temanmu biasa duduk di sana. Aku, mau tidak mau, masih harus memandang lapangan bola voli yang sama, lapangan yang mengantarku untuk pertama kali mengenal dirimu. Aku masih mendengar sayup suaramu memangil namaku, teriakan konyolmu menyemangatiku dari pinggir lapangan. Omelanmu saat aku hujan-hujanan sepulang sekolah, hingga lorong kelas dimana kamu menyelipkan payung lipat kedalam tas ku. Aku masih melihat bayangmu berdiri di bingkai jendela belakang kelas sambil tersenyum memandangiku yang lewat disamping kelasmu. Aku, masih ingat betul rasanya tersipu, merasakan desir di vena-venaku. Menahan debar keras jantungku, meresapi aliran darah ke nadi-nadiku yang terasa berlipat kali lebih hidup.

Aku masih ingat betapa dua buah lemper ketan isi abon berbungkus daun pisang buatan ibumu menjadi lemper terenak yang pernah kumakan dalam hidup.

Hal-hal sederhana yang barangkali kini kita tertawakan, aku, tak dapat memungkirinya. Masa-masa itu sangatlah indah. Masa yang kini kurindui setiap detik bahagianya.

Dari itu aku belajar, bahwa kebahagian seringkali datang dari hal-hal sederhana yang kadangkala sering lupa kita syukuri keberadaanya. Sungguh, benar adanya.

Aku merindukanmu.
Tapi, bagaimanalah. Kini, kau pun memiliki kesibukanmu sendiri, orang-orang baru, lingkungan baru. Seiring dengan bertambahnya beban yang kau pikul dipundakmu, aku takut menyusahkanmu barang sekedar meminta uluran tanganmu ketika aku terjatuh. Aku, bahkan tak memiliki keberanian yang cukup untuk  melangkah lebih jauh lagi menyusuri kedalam hatimu.

Sebenarnya aku cemburu. Melihat kau ada untuk mereka, sedang kau lupa sekedar bertanya apa aku baik-baik saja. Ah, kanak-kanak sekali memang. Aku juga tak mengerti mengapa disaat-saat tertentu, aku ingin sekali menunjukkan sisi lemahku kepadamu, meski sebenarnya aku tak sekanak-kanakan itu. Aku tak berhak cemburu. Meski tetap saja, kemelut perasaan itu terus mendorongku untuk menyatakan ketidaknyamananku atas sikapmu.

Komunikasi kita memang tak cukup baik saat itu. Permasalahan dan kesalahpahaman yang hanya mengandalkan percaya rupanya tak begitu mujarab ketika kita tak cukup cakap untuk saling bicara. Membiarkan semua permasalahan menggantung, membiarkan diri saling menerka dalam bisu. Sungguh, bukan suatu yang bijak disaat hati sebenarnya saling merindu.

Tahun-tahun berlalu.

Hari ini aku duduk di meja kantorku, menatap kalender duduk di meja samping printerku. Ah, bulan ini hampir berakhir. Lima tahun perjalanan rasa bukan perkara sederhana. Jatuh bangun asa menghimpun jeda ke lembar kisah selanjutnya.

You have been there, Intan. And now, you already here.

Tiba-tiba aku teringat sebuah nasihat,

Jadilah seseorang yang: "Aku akan tetap menunggu. Tidak peduli kau datang atau tidak." untuk seseorang yang: "Aku akan pasti datang. Tidak peduli kau tetap di sini atau pun tidak."
Meski hingga detik ini kita tidak tahu siapa seseorang tersebut. Meski kita terlampau malu dengan harapan-harapan. Teruslah memperbaiki diri, besok lusa kita akan paham hakikat nasehat ini.
-Tere Liye

Ah, benar. Teruslah memperbaiki diri.
Menantilah dengan sepenuhnya pecaya, bahwa kelak, yang datang--entah dia atau bukan, adalah seorang yang terbaik. Adalah dia, cerminan diri.

Sejatinya berupaya melakukan segala sesuatu sebaik-baiknya adalah upaya menginvestasikan ketentraman di hari ini dan masa yang akan datang. Jadi, jangan lelah. Teruslah berbenah.



Aku,
yang tertatih bangkit.
Bumi, 26 Februari 2020.

0 Komentar