********
"Kamu merindukannya lagi bukan?" Pikiran bertanya. Hati tak menyahut. Ia hanya tersenyum, menyembunyikan derai yang memenuhi lautan rindu.
"Menurutmu, apa aku salah jika aku rindu?" Hati bertanya.
"Rindu tak pernah salah, yang salah adalah caramu menjamu rindu."
"Aku tak mengerti."
"Baik, begini." Pikiran berdeham. "Apa yang kau lakukan ketika rindu?"
Hati terdiam. Pandangannya jatuh, sebagian dirinya luruh. "Aku lebih mengingat dia ketimbang mengingat Penciptaku." Hati tak lagi mampu membendung air matanya.
"Kau lihat?" Pikiran tersenyum, berupaya menenangkan hati yang kalang kabut. "Kau masih bisa sadar dalam kelabu rindumu. Kau sadar bahwa kau lebih mengingat dia ketimbang Penciptamu. Kau sadar tak seharusnya begitu. Bukankah itu pertanda begitu besar cinta-Nya padamu? Ia tak mau membiarkanmu hanyut terlampau jauh."
"Kau benar, membiarkan diriku sendiri hanyut adalah kesalahan terbesarku."
"Tak apa. Mari berbenah bersama."
"Kau sahabat terbaikku, pikiran"
"Kau juga sahabat terbaikku, hati."
"Rasanya aneh sekali ya kita seakur ini." Sang hati tertawa.
"Hahaha, kita tinggal dalam satu tubuh. Sudah sepatutnya begitu." Saut pikiran.
"Tapi pertengkaran seringkali membuatku merasa hidup."
"Tentu saja, kita berproses dalam menemukan jawaban itu. Kita mendewasa dengan menyatukan perbedaan itu."
"Halah, sok bijak sekali kamu. Hahaha."
"Berisik!" Teriak pikiran, menahan tawa. "Jadi, apa rencanamu sekarang?"
"Masalah rencana itu keahlianmu. Ayo bantu aku."
"Aduh, rencanaku juga tak sebaik itu tanpa keahlian intuisimu. Lagi pula ini masalahmu. Kau yang tentukan. Aku hanya memberi saran."
"Oke." Hati bergumam. Pikiran dengan sabar menantinya. "Baiklah, aku akan mulai dengan menata diriku terlebih dahulu."
"Bagus, hati yang menata hati. Hahaha." Tawa Pikiran. "Luruskan niatmu!"
"Iya. Bertahun-tahun aku menanti seseorang yang bahkan tidak pernah memikirkan perasaanku. Saatnya aku lebih menghargai diriku sendiri."
"Ya, Hati. Kau baik. Kau berharga."
"Aku ingin mengembalikan sepenuhnya rasa ini kepada pemiliknya. Aku mau menjaga diriku. Tapi bukan untuk dia. Hanya untuk Allah semata. Semoga Allah mengampuniku atas segalanya."
"Aamiin, Kau pasti bisa! Semangat! Tapi, bukan tak mungkin rindu itu akan kembali menyerangmu, atau teguhmu yang begitu saja luruh menatap senyumnya itu. Kau sudah tau apa yang harus kau lakukan, sahabatku?"
"Tentu, perihal rindu, cemburu, rasa yang menggebu, mana mungkin dapat ku halau? Itu semua diluar kuasaku. Mungkin aku akan merasakannya, lagi dan lagi. Dan yang bisa ku lakukan adalah menyalurkannya dalam doaku."
"Aku yakin kau akan terbiasa dengan semua itu. Kau pasti bisa mengendalikan rasa dengan imanmu. Ini adalah ujian yang harus kau lewati. Mudah-mudahan kau lulus."
"Terimakasih banyak pikiran. Terus dampingi aku ya."
"Sama-sama, Hati. Dan tolong, sadarkan aku juga jika aku kembali lumpuh. Kita harus bekerjasama memetik pelajaran hidup ini dengan utuh."
"Ya, aku yakin, Allah telah mempersiapkan semua yang terbaik. Kita harus terus berbenah menjadi hamba yang baik, agar dipertemukan dengan hamba-Nya yang baik pula."
"SEMANGAT HATI!!!"
"SEMANGAT PIKIRAN!!!"
*******
Dan aku pun terbenam bersama rindu.
Menjamu rindu dengan syahdu
di sepertiga malamku.
Duhai benar,
"Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram." (Q.S. Ar-Ra'd : 28)
Januari 2020
0 Komentar
Hay! Salam Kenal :)
Pendapatmu tentang tulisanku...