"Alhamdulillah Pak. Seneng bisa pulang masih lihat matahari. Hehee.." Jawabku.
Pak 'Den' (sebut saja begitu) tertawa. Kami masuk kerja pukul setengah 8 pagi. Normalnya kami pulang jam setengah 4 sore. Sebab peraturan perusahaan, kami dikenakan lembur wajib. Karyawan kantor pulang jam setengah 6 (itupun sering lebih), driver dan security pulang jam 8 malam.
"Jadi lebih banyak waktu di rumah ya, Mba."
"Iya, Pak. Alhamdulillah sekarang bisa pulang jam setengah 4 normal. Nggak harus nyuci baju malem-malem lagi. Menghindari mandi malam juga. Kan lebih sehat ya, Pak."
"Iya Alhamdulillah. Saya juga seneng banget sekarang bisa pulang jam setengah enam. Kayak mimpi mba. Bertahun tahun saya kerja disini, suka sedih kalau bulan ramadhan ngga bisa ikut jama'ah shalat tarawih di masjid karna pulang paling cepet jam 8 malam." Kata Pak Den bersemangat.
"Alhamdulillah.. Seneng ya pak." Aku tersenyum.
Kami berdua sama-sama terkenal pendiam. Tapi begitu banyak bercerita ketika berdua. Ya, berdua. Beliau yang sering mengantarku kemana-mana setiap ada dinas luar kantor. Entah ke bank, kantor pajak, mengurus dokumen tagihan ke customer dan sebagainya. Mungkin beliau sudah menganggapku seperti anak perempuannya sendiri. Sedikit lebih muda dari bapak. Anak pertamanya juga perempuan, sekarang duduk di bangku SMA. Aku senang setiap kali Pak Den bercerita. Aku pun tak segan berbagi cerita padanya. Tak ada istilah atasan dan bawahan terlebih diluar konteks pekerjaan. Semua sama saja. Aku menghormati siapa saja.
"Iya.. Kemarin juga saya rasanya.. em, itu, rasanya hampir...."
"Hampir apa pak?"
"Aduh, gimana ya, saya malu ngomongnya.."
"Kenapa pak?" Aku tertawa melihat Pak Den yang tiba-tiba gugup menepuk-nepuk stir mobilnya.
"Saya terharu."
"Terharu kenapa?"
"Saya merasa mimpi kemarin bisa shalat maghrib berjama'ah di masjid dekat rumah. Kayak mimpi jam segitu udah bisa pulang." Jawab Pak Den dengan suara yang mulai bergetar. Duhai.. Nikmat ibadah yang mungkin banyak orang lalaikan, lekat dirindu mereka yang tak mampu tunaikan.
Lihat? Betapa waktu tak bisa dibeli dengan uang?
Jika boleh diceritakan, dulu, Pak Den, jangankan berjamaah, sholat wajib pun jarang. Puasa bolong-bolong. Tak tersentuhnya Al-Quran. Diakuinya sendiri jauh dari agama. Namun siapa sangka? Hidayah mengetuk hatinya. Pak Den menjemput hidayah dalam satu malam. Sekarang, jangankan perkara lima, dhuha pun tak terlewat. Berjama'ah selalu diupayakan. Kembali mengeja hijaiyah, hingga tartil membaca Al-Quran. Radio mobil pun tak lepas dari ceramah ustad atau audio-audio murrotal. Sungguh benar, Allah memberi hidayah-Nya pada siapa-siapa yang Ia kehendaki.
Jika boleh diceritakan, dulu, Pak Den, jangankan berjamaah, sholat wajib pun jarang. Puasa bolong-bolong. Tak tersentuhnya Al-Quran. Diakuinya sendiri jauh dari agama. Namun siapa sangka? Hidayah mengetuk hatinya. Pak Den menjemput hidayah dalam satu malam. Sekarang, jangankan perkara lima, dhuha pun tak terlewat. Berjama'ah selalu diupayakan. Kembali mengeja hijaiyah, hingga tartil membaca Al-Quran. Radio mobil pun tak lepas dari ceramah ustad atau audio-audio murrotal. Sungguh benar, Allah memberi hidayah-Nya pada siapa-siapa yang Ia kehendaki.
"Tapi, akhir-akhir ini juga saya sering dibilangin sama anak-anak produksi. Katanya saya itu rugi." Lanjut Pak Den.
"Wah, rugi gimana nih Pak?" Aku mulai menerka-nerka.
"Katanya saya rugi. Pertama dengan dihilangkannya lembur wajib, berarti otomatis gaji saya berkurang drastis dari biasanya. Kedua, karna pulang jam setengah 6, saya nggak dapet jatah katering sore. Alhasil, harus keluar uang buat makan sore yang aslinya dulu ngga ada. Rugi double-double kalau kata orang." Jelas pak Den.
"Hehee... Kata orang kan pak? Kata kita yang menjalani dengan syukur kan bahagia aja. Seneng malah. Kadang justru berpikir, waktuku lebih mahal kok. Nggak bisa sembarangan ditukar dengan uang." Timpalku. Kurasa Pak Den setuju. Menjawab ia dengan lantang.
"Betul mbak!"
Toh bagiku, rizki Allah tak hanya berupa nominal angka yang tertera pada slip gajiku. Kesehatan, ketenangan, keamanan, semua, adalah rizki dari-Nya. Asal tak hilang keyakinan, doa dan ikhtiar, serta tak lupa bersedekah dalam luang maupun sempit, Allah akan selalu mendatangkan rizki-Nya dari pintu yang tak terduga-duga. Begitu prinsip yang ku tanamkan sejak lama. Yang membuatku selalu merasa tenang soal harta. Dan selalu menjadi pengingatku untuk takut menjadi kikir tersebab harta.
Perbincangan kami pun diakhiri ketika mobil telah menepi di tempat tujuan.
Banyak hal yang kupelajari hari itu.
Tentang syukur, tentang memaksimalkan waktu agar tetap produktif, tentang hikmah-hikmah yang bersembunyi dibalik apapun yang terjadi.
Semangat untuk terus berbenah.
Berjuang terus, lantas berserah.
Semangat!!
Februari 2020.
0 Komentar
Hay! Salam Kenal :)
Pendapatmu tentang tulisanku...