Hari ini seseorang telah mengingatkanku tentang bagaimana manusia seharusnya lebih menghargai. Ini bukan soal siapa yang meminta dihargai dan menghargai. Sebab dihargai adalah hak dan menghargai ialah kewajiban bagi setiap manusia di muka bumi, terlebih kita sebagai seorang muslim.
Adalah manusiawi, rasa ingin dihargai. Terlebih sebagai seorang yang telah berjuang sepenuh hati. Sebagai anak kecil yang keinginannya ingin dituruti. Sebagai orang dewasa yang pendapatnya ingin dihargai. Sebagai wanita yang kehormatannya ingin dijunjung tinggi. Sebagai lelaki yang meredam egonya sebagai pemimpin. Sebagai sewajar-wajarnya manusia, yang punya hati.
Dan demi hujan yang belum jua turun di akhir agustus ini. Biarkan aku mengingat-ingat bagaimana tetes airnya meresap dan menghadirkan bau tanah paling wangi di beranda rumahku yang kecil. Bagaimana gercik airnya menyuarakan lagu kehidupan bernada ketulusan dengan seindah-indahnya melodi.
Siapa yang tidak ingin dihargai?
Setelah pengorbanan dan semua usaha yang telah dilalui. Setelah kepedulian yang telah setulus-tulusnya tersaji. Setelah kebaikan demi kebaikan yang tercurah tanpa pamrih, tanpa mengharap terimakasih.
Apa jadinya jika hujan hanya mendengar mereka yang mencaci? Apa jadinya jika hujan hanya melihat mereka yang tak peduli dan lupa mensyukuri? Akankah hujan berhenti turun ke bumi ini?
Tidak.
Hujan hanya menunaikan kewajibannya untuk memenuhi unsur kehidupan demi kelangsungan hidup makhluk di bumi ini tanpa pamrih. Hujan akan tetap turun meski kehadirannya tak dihargai. Hujan tetap turun untuk mereka yang menyambut kedatangannya dengan sepenuh hati.
Jangan pernah ragukan betapa berwibanya hujan di mata bumi. Jangan tanyakan betapa tumbuhan membutuhkan kehadirannya terkandung dalam tanah-tanah yang kering.
Mereka, sebut saja manusia, yang tak peduli, barangkali hanya tak mengerti. Bahwa hujan hadir bukan hanya demi kebaikannya sendiri. Bukan hanya sekedar eksistensi untuk dijadikan kesenduan dalam sajak dan puisi.
Tidak.
Hujan tak harus berhenti hanya karena ia tak mampu merangkul semua orang untuk lebih peduli, lebih mensyukuri apa-apa yang semesta sajikan untuk kebaikan orang-orang itu sendiri.
Hujan hadir, dan tetap hadir, meneteskan kebaikan demi kebaikan tanpa henti. Karena baginya, penilaian manusia sungguh tak penting. Yang ia lakukan hanyalah menunaikan kewajibannya dan mengharap ridha Illahi.
Sungguh beruntung ia yang dihadapkan pada ujian ketulusan yang akan membawanya ke kelas kehidupan selanjutnya.
Seperti hujan, begitulah manusia perlu mempelajari ketulusan. Dihargai atau tidak, jika orientasi diri adalah untuk Sang Pencipta, maka berbahagialah.
Seberat apapun ujianya, semua tak akan sia-sia.
....
Untuk diri,
Agustus ke dua puluh lima, dua ribu sembilan belas.
0 Komentar
Hay! Salam Kenal :)
Pendapatmu tentang tulisanku...