Perempuan Pembenci Asap Rokokmu


Aku tak tau harus mulai dari mana.

Aku menulis ini karena aku sudah tak tahan lagi bersandiwara dihadapanmu--bahwa aku tak peduli lagi padamu--membiarkan batang yang kau hisap itu mengepul ditanganmu. Maaf, aku benci menyebutnya. Entah kapan kau akan membaca ini. Mungkin kamu akan membacanya esok, lusa, atau nanti, entah setelah berapa musim mengiringi tahun yang berganti. Atau mungkin kelak, setelah ada bayi kecil yang tengah tertidur pulas dihadapanmu. Yang mewarisi lebih dari separuh parasmu. Lengkap dengan dekik pipi saat ia tersenyum. Dekik senyummu. Manis sekali. Semoga hingga saat itu, batang jahat yang kau cintai itu tak merenggut kesehatanmu.

Atau bisa jadi, kau tak akan pernah membaca ini. Setidaknya aku telah menulis. Sebagai catatan kecil bagi diri. Sebagai bukti bahwa benar, aku pernah mencintaimu sedalam ini. Pernah memperhatikan segalamu dengan amat peduli. Meski kau tak pernah mengetahui. Sebab caraku yang kaku ini.

Ya, tentu saja.
Lima tahun bukan waktu yang sebentar.

Tahun pertama aku mengenalmu, tahun itu pula ku selami sisi gelap terangmu. Termasuk menerima kenyataan bahwa kau juga penghisap asap-asap itu.

Baik, ku sebutkan. Rokok.

Orang-orang tau, betapa aku tak menyukai aktivitas itu. Merokok. Terlebih sahabatku. Ia tau aku. Saat hubungan kita semakin dekat (dulu), dengan terheran-heran ia menanyakan apakah aku tau kalau kamu adalah seorang perokok. Ku jawab, 'ya'. Aku tau. Tentu saja aku tau. Segala hal tentang dirimu, aku mencari tau. Dan apakah kau tau apa yang membuatku menerima apa adanya dirimu, Mas?

Kau tau rokok hanya akan merusak kesehatanmu. Kau berusaha menguranginya. Meski mungkin tekadmu belum bulat. Aku tau kau berusaha keras. Dan aku selalu bangga padamu, Mas. Aku selalu bangga. Tak pernah ku dengarkan apa kata orang yang berbicara buruk perihal dirimu. Apapun itu. Termasuk soal rokok itu.

Aku mengenalmu dari sudut pandangku. Mereka tak akan mengerti. Dan aku tak perlu dimengerti soal yang satu ini.

Dan terus, hingga permasalahan serta kesalahpahaman demi kesalahpahaman mulai meretakkan kebersamaan kita. Ditambah, ratusan kilometer yang kini terbentang diantara kita, semakin menyamarkan sosokmu dalam kehidupanku.

Tidak. Aku tidak pernah menyalahkan jarak ini. Mungkin saja aku yang berubah. Mungkin saja kau yang berubah. Hanya saja aku merasa, semua tak lagi sama.

Aku selalu mengira bahwa jarak akan membuat kita memiliki alasan untuk saling mendekat. Sayang, jarak hanya menjadi alasan tentang dua hati yang tak lagi sama.

Malam itu,
Kamu hendak menemuiku. Diluar kebiasaanmu, yang selalu memegang teguh sopan santun ketika hendak menemuiku-datang kerumah dan bersalaman dengan orang tuaku- tapi kau hanya memfoto depan rumahku dari rumah seberang jalan. Tepatnya rumah temanku juga. Tak bisa kusebutkan namanya. Kamu mengirimkan foto itu ke whatsappku. Aku yang hendak pergi mencari makan malam dengan ayah dan adikku, lekas meminta izin dan turun dari mobil untuk sekedar memberi salam padamu.

Aku turun dari mobil, perasaanku tak menentu.

Gelap. diseberang jalan sana gelap.

Aku melihat samar dua orang berdiri didepan rumah temanku itu. Aku yakin salah satunya kamu. Ku lambaikan tanganku, "Sini" Kataku. Entah kau menjawab apa. Kau tak jua menyeberang jalan dan diam saja disitu.

Dengan ragu, aku menghampirimu. Dengan perasaan sedikit kesal, aku mecoba tersenyum. "Assalamualaikum"

"Wa'alaikumussalam.." Jawabmu dan seorang yang lain. Yang setelah beberapa kali ku perhatikan, ternyata ia 'teman' yang ku maksud. Yang tinggal di seberang jalan rumahku. Aku pangling, rambutnya yang gondrong hampir membuatku mengiranya seorang perempuan. Sedangkan kamu masih tak berubah. Hanya rambutmu yang tak sependek dulu, dan badanmu yang mulai berisi, tak sekurus dulu.

Iya, Mas. Aku melihatnya. Rokok yang kau apit di antara belah jarimu. Kau seperti ragu membawa rokok itu dihadapanku. Sesekali seperti menenggelamkannya dibalik badanmu, tapi seperti hendak menunjukkannya padaku. Dan tak lama, sepertinya kau memadamkannya. Entahlah, aku tak terlalu memperhatikannya.

Kita hanya berbicara sedikit, saling bertukar kabar. Sejujurnya aku tak nyaman berada disini. berhadapan dengan dua orang laki-laki di tempat yang agak minim pencahayaan--jika tak bisa disebut gelap. Aku malu dilihat orang. Ini bukan kebiasaanku. Aku sempat mengajakmu beberapa kali untuk bertamu dengan layak ke rumah. Tapi kau menolak. Malu katamu, cuma pakai celana pendek.

Tak lama, aku segera berpamitan. Sudah ditunggu ayah dan adikku. Kamu mengiyakan. Menyuruhku segera ke mobil. Takut ayahku menunggu terlalu lama. Kamu membantuku menyebrang jalan. Menengok untuk sekali lagi melihatmu tersenyum, saling melempar salam, lantas setengah berlari aku menghampiri mobil, masuk, dan pergi.

Sepanjang jalan, perasaanku bergejolak.

Entah senang, entah sedih. Entahlah..

Pembicaraan whatsapp setelah itu pun terasa berbeda. Candamu tentang "Kenapa paus ada di laut?" menjadi tak lucu. Berangsur ku coba menyadarkan diri, 'Mas, kamu sungguh membawa rokok itu kehadapanku?'

Apakah kamu sungguh mengira aku tak peduli lagi akan segalamu, Mas?

Tidak.. tidak. Ini bukan tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Tapi aku selalu saja menyalahkan diri sendiri. Merasa tak berguna. Benar-benar tak berguna.

Masih lekat dalam ingatku, Mas. betapa kita saling menghargai satu sama lain. Saling menghormati. Saling bertekad menjadi lebih baik. Betapa kejujuranmu selalu menyentuhku. Betapa caramu menyampaikan segala sesuatu, selalu membuatku terkagum-kagum. Aku rindu, Mas. Pada kita yang hanya dengan saling menatap dari jauh, menggetarkan gelombang pelecut untuk saling memperbaiki diri setiap waktu.

Untuk apa kebersamaan kita selama ini jika bukan untuk saling membawa ke taraf kehidupan yang lebih baik? 

Aku gamang. Dan pertanyaan itu terus saja mengelilingi kepalaku.

Cukup.
Akan ku akhiri rasa bersalahku malam ini. Aku telah sampai pada kesimpulanku sendiri.
Bahwa mungkin, aku tak lagi baik. Tak cukup baik untuk menjadi baik bagimu saat ini.

Duhai, andai ku berani menyampaikan tulisan ini padamu.
Berbicara langsung aku tak mampu. Tak rela hatiku merusak pertemuan kita dengan bersanggahan ini dan itu.

Jika kau baca ini, aku mohon, berhentilah. Berhentilah, Mas. Meski bukan untukku. Tapi untukmu. Untuk orang-orang yang kau cintai, yang mencintaimu. Dan, yang terpenting dari semua itu. Untuk-Nya, Mas. Pencipta paru-parumu. Yang mengamanahkan paru-paru sehat itu untukmu. Jaga apa-apa yang Ia amanahkan untukmu. Semoga Allah menjagamu.


2019
Tertanda,
Aku.







0 Komentar