Pada suatu masa,
Hari itu, aku masih berkutat dengan pergulatan ego dalam hatiku. Sesekali bimbang, sesekali takut, sesekali rindu. Bertumpah ruah menjadi satu. Bersama ketiadaan, hadirmu kian samar, dan hatiku kian nanar. Anehnya, perasaanku tak jua pudar. Dan rinduku kian berpendar. Mengorbit penuh dalam satu garis edar. Ada kau, aku dan doa yang diam-diam menautkan kita.
/1/
Setelah penantiku yang begitu panjang, sebuah kalimat yang ku nanti itu pun datang. Sebuah kalimat paling berani yang tak sembarang lelaki mampu mengucapkannya. Di belakang kalimat tersebut, ada segudang tanggung jawab yang mesti ia tunaikan sebagai seorang lelaki dewasa. Sebagai imam, sebagai panutan. Sebagai seseorang yang hendak membawa gadis dalam dekap hangat orang tuanya, untuk pergi berlayar mengarungi luasnya samudra rumah tangga. Tapi mengapa, kalimat itu tak datang darimu sayang?
/2/
Di belahan bumi lain, hatimu tengah bergetar menyaksikan simpul senyum yang entah bagaimana, terasa begitu hangat. Ada daya yang membuat dirimu sulit untuk tak menaruh hati padanya. Kau jatuh cinta. Duniamu mulai berisi hal-hal kecil tentangnya. Malammu berhias kalimat indah yang keluar dari pemikirannya yang mengagumkan. Bagimu, suaranya menjadi musik paling merdu yang selalu haus kau dengarkan. Gerak mata dan bibirnya saat tertawa menjadi detail paling menggemaskan, dari semua hal menggemaskan yang pernah kau temui di dunia. Kau pun candu dibuatnya.
/3/
Aku yang tak pernah tau apa kabarmu. Aku yang terlalu takut untuk menghubungimu. memutuskan untuk mulai membuka hati, pada seseorang yang selain kamu. Sebab pilihan yang ku hadapi, mengharuskanku untuk tak lagi menempatkanmu dalam hatiku. Tak lagi menempatkanmu dalam barisan orang-orang yang ku prioritaskan dalam hidup. Aku harus adil, menerima seseorang yang memberikan dunianya untukku, artinya ia berhak atas seutuhnya aku. Tanpa bayang masa laluku. Tanpa ada kamu. Bermalam-malam ku gelar sajadahku, bersimpuh memohon ampun dan petunjuk, atas apa yang terbaik bagimu, bagiku dan baginya. Aku mulai berdiskusi dengan orang tuaku, sambil berikhtiar mengenalnya lebih jauh. Rupanya, setiap apa yang ku temukan tentang dirinya adalah hal-hal yang mengagumkan. Keteguhan dan pengorbanannya untuk keluarga, ketekunannya menuntut ilmu agama, sopan santun, dan ketegasan yang ia punya tanpa banyak berkata-kata.
/4/
Harimu berlalu terlampau indah. Hingga sikapnya yang berubah, tak kau sadari dimana awalnya. Kau tak mengerti mengapa ia buru-buru pergi. Meninggalkanmu yang masih belum mengerti. Tentu, satu pengacuhan tak kan membuatmu jatuh. Datanglah kamu ke sebuah kota dimana dia berada. Dengan langkah kaki yang sedikit kalut, dan detak jantung yang sulit diatur. Hari itu, disampaikannya apa-apa yang perlu kau tau. Kala perbincangan usai, sebenarnya kau masih berharap saat-saat itu bisa berlangsung sedikit lebih lama. Ia tersenyum lega, dengan rasa sedikit tak enak. Maaf dan terimakasih adalah kata-kata penutup perbincangan sore itu. Kaupun demikian. Berterimakasih untuk penjelasan yang ia berikan, penjelasan yang lebih bisa kau terima. Langit mulai gelap, hatimu juga. Kau kembali dengan langkah yang lebih tenang, meski sesekali dadamu terasa begitu sesak. Diatas kereta, kau sandarkan kepala. Memejamkan mata untuk sejenak menata hatimu yang berantakan.
/5/
Hariku begitu padat berlalu. Patah hatiku lekas bersambut pangeran lain yang siap meminangku. Namun, keteguhan tak jua menghampiriku. Ada rasa tak nyaman, tak biasa, yang membuatku seolah asing berdiri diantara banyak keyakinan. Apakah aku terburu-buru? Sedang aku merasa tak boleh membiarkan lelaki baik berlama-lama menunggu. Orang tua menyerahkan sepenuhnya keputusan padaku. Bagaimanapun, bagi seorang perempuan, sedalam apapun cinta bersemayam dihatinya, ia harus cukup kuat untuk mengambil keputusan yang akan mengubah lebih dari separuh kehidupannya. Kepada siapa ia harus berbakti di sisa hidupanya. Bersama siapa ia genapkan separuh agamanya, memilih ayah yang akan menjadi teladan bagi anak-anaknya. Tentu bukan keputusan sederhana. Yang bisa diambil atas pertimbangan rasa semata. Aku telah sampai pada malam terakhir istikharahku. Majelis Ulama mengumumkan esok jatuh satu syawal. Tepat dimalam takbir berkumandang, dengan tangan gemetar, ku sampaikan jawaban atas niat baiknya.
Bersambung...
0 Komentar
Hay! Salam Kenal :)
Pendapatmu tentang tulisanku...