Aku teringat percakapanku dengan Ibu lima belas tahun yang lalu, saat aku masih berkepang dua. Dengan kerutan di dahiku, aku bertanya, "Ini bekas luka apa, Bu?"
"Dulu, sebelum Ibu menikah dengan Ayah, Ibu harus bekerja dan pulang ketika hari sudah gelap," jawab Ibu. "Mungkin Ibu terlalu lelah hingga tak sadar sebuah mobil melintas ketika Ibu menyeberang jalan. Ibu terpental dan ini bekas lukanya," lanjut Ibu. Bibirku membulat, mengangguk-angguk.
Ibu tersenyum, "Untung Ayahmu datang dan menyelamatkan Ibu."
"Ayah mengobati luka Ibu?" Tanyaku lugu. Ibu mencubit pipiku.
"Bukan, Nak. Ayah menyelamatkan Ibu sehingga Ibu tidak harus bekerja keluar rumah lagi hingga larut malam."
"Ayah mengobati luka Ibu?" Tanyaku lugu. Ibu mencubit pipiku.
"Bukan, Nak. Ayah menyelamatkan Ibu sehingga Ibu tidak harus bekerja keluar rumah lagi hingga larut malam."
Duhai, aku tak mengerti maksud Ibu waktu itu. Hingga kini, di tengah kejenuhan rutinitas kantorku, ku resapi sendiri perih luka di tangan dan kakiku yang mencium aspal sore tadi. Kurasakan sendiri betapa aku membutuhkan sosok penyelamat seperti Ayah, datang menjadikan Ibu pendamping dengan tugas mulianya berada penuh di dalam rumah.
~
~
0 Komentar
Hay! Salam Kenal :)
Pendapatmu tentang tulisanku...