Lintang & Berlian


Wanita itu, sebut saja Berlian.

Sedang aku, hanya setangkai mawar yang menjadi saksi bisu salam perpisahan dua manusia lugu.

Matanya tepat menatap mahkota terakhirku yang gugur. Entah apa yang ada di pikirannya. Yang ku tau, seiring gugurnya mahkota terakhirku ini, maka berakhir dan terpenuhilah sudah janjinya.

Sebuah janji sederhana.

....


"Untukmu.." Ucapnya dengan senyum tanggung. Tangan gemetarnya menjulur ke arah Berlian, digenggamnya setangkai mawar merah legam dengan aroma khas yang membuat orang mengenal tanpa melihat rupa.

"Aku? Oh...Terimakasih, Lintang." Ragu-ragu Berlian menyambut pemberian orang yang diam-diam sering menyelipkan surat di buku catatannya itu. Berlian tak tau kapan dan bagaimana cara surat-surat itu bisa sampai terselip di bukunya. Berlian sendiri selalu terlambat menyadari keberadaan surat-surat itu.

Lelaki itu kini justru diam, seperti hendak berkata, tapi ada sesuatu yang menyumbat pita suaranya. Sedang wanita yang kini memegangku ini sama sekali tidak berani menatapnya. Seolah ada luka dan rasa bersalah yang dalam terlukis di lensa coklat matanya.

Aku tidak mengerti, seharusnya aku adalah pertanda cinta. Seharusnya sekarang aku berada di antara sepasang mata berbinar 2 manusia ini. Apa yang salah?

"Selamat untuk kelulusanmu, Lintang." Suara Berlian memecah kebisuan.

"Kamu juga, Berlian." Mereka tersenyum.

"Selamat menjalani dunia barumu, akhirnya kamu akan segera terbebas dari sket ruang dan waktu yang mengharuskanmu bertemu denganku."

"Maksudmu?" Lintang mengernyitkan dahinya.

"Di surat terakhirmu, kamu bilang jika sejujurnya adanya aku hanya menyakitimu. Bertemu denganku adalah beban yang menyulitkan bagimu untuk melangkah ke depan. Sekarang kamu akan segera terbebas dari itu semua. Ku ucapkan selamat." Berlian tersenyum, berusaha menyusun rentetan kalimatnya setenang mungkin.

"Berlian.." Lintang menatap mata gadis dihadapannya, yang ditatap justru membuang pandangannya jatuh ke bumi.

"Seperti namamu, kamu begitu berharga." ucap Lintang. "Kamu tau betapa kerasnya aku berusaha mengenyahkan perasaanku? kamu tau betapa pahitnya menikam cemburu dalam kebisuanku?"

Lintang masih menatap Berlian, dan Berlian masih menatap bumi.

"Mungkin kata 'TIDAK' adalah kata yang seharusnya kau ucapkan padaku, Berlian. Agar aku tau diri. Bahwa diriku sungguh tak pantas bagi wanita sebaik dirimu."

Berlian menggeleng, "Semua itu tidaklah benar. Aku tak sebaik yang kau pikirkan."

"Itu yang aku suka darimu. Aku selalu merasa tak pantas. Bahkan berbicara denganmu saja aku gugup. Itu mengapa selama ini aku hanya menyelipkan surat-surat di buku catatanmu. Semoga kau membacanya meski tak membalasnya." Ucap Lintang diiringi senyuman tulus.

Berlian semakin terkoyak oleh rasa bersalahnya sendiri. Ia memang membaca dan menyimpan semua surat itu, tapi tak sepucuk surat pun dibalasnya. Berlian menyadari ketulusan dimata Lintang tapi ia selalu bersikap dingin, walaupun ia tau semua itu menyakiti hati Lintang.

"Katakanlah sesuatu Berlian.. Jangan diam, mungkin ini kesempatan terakhir kita berbicara. Selebihnya mungkin akan tergerus waktu. Tolong, katakanlah sesuatu.." Pinta Lintang melihat berlian yang masih membisu dihadapannya.

"Lintang..."

"Ya?"

"Maafkan aku." Berlian mengangkat wajahnya. "Aku egois. Aku tak menghargai perasaanmu. Maafkan Aku.." Mata berlian mulai berair. Perlahan tubuhnya mulai terguncang lembut oleh isaknya sendiri.

"Sudahlah.. Lupakan yang telah berlalu. Aku mengerti. Aku sadar bila ketulusanku hanyalah sekedar kata tanpa makna jika aku menuntutmu untuk membalas semua perasaanku. Aku tak apa."

Lintang berusaha menenangkan, sayangnya kata-kata itu justru membuat hati Berlian semakin sesak dipenuhi rasa bersalah.

"Aku mundur. Aku akan kembali berjalan dijalanku, dan kamu, tetaplah jadi apa adanya dirimu. Semoga segera kau bertemu dengan kebahagiaanmu, meski bukan aku."
Air mata wanita yang terisak dihadapannya ini mengalir deras sepanjang lengkung pipi sampai bermuara di dagunya yang kecil, kemudian jatuh vertikal membasahi mahkota indahku ini.

"Boleh ku minta satu hal padamu?" Tanya Lintang, sekuat tenaga berlian mencoba menguatkan dirinya, "Apa?"

"Tolong jaga mawar di tanganmu itu sampai mahkota terakhirnya gugur. Mungkin kamu menganggap permintaanku ini sepele, tapi tolong berjanjilah.. Jaga mawar itu."

Berlian mengangguk, erat ia menggenggam tubuhku.
"Terimakasih Lintang, terimakasih untuk semuanya."

Mereka tersenyum.

"Selamat tinggal, Berlian. Sampai jumpa jika Tuhan mengizinkan."



Lintang tersenyum, menatap dalam dalam wajah sembab wanita dihadapannya. Berat ia memutar tubuhnya, gontai melangkahkan kaki. Sekali ia coba menengok wanita yang ia tinggal bersama isak tangisnya yang sungguh membuat hati Lintang perih. Ia menguatkan hatinya, kembali melangkah, berlalu pergi, tanpa pernah menengok lagi.


.................................



Dan ya...

Janji itu terpenuhi.
Hari ini, tepat pukul 13.31 dibawah guyuran hujan dan tatapan sendu mata..... Berlian.

May 4, 2017


0 Komentar